Gratifikasi atau tolak gratifikasi?

Gratifikasi dapat dikatakan sebagai tindakan pidana korupsi apabila pemberian gratifikasi berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya kepada penyelenggara negara. Seharusnya masyarakat tidak tersinggung apabila ada seorang ASN menolak suatu pemberian. Hal ini dilakukan karena kesadaran terhadap niat apa yang mungkin tersembunyi dibalik pemberian tersebut. Penolakan tersebut bagi seorang ASN dianggap sebagai kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terciptanya payung hukum yang membawahi gratifikasi merupakan suatu bentuk kesadaran bahwa gratifikasi dapat menghasilkan dampak yang negatif serta dapat mengarah ke dalam tindakan suap-menyuap khususnya dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Tidak dapat dipungkiri implementasi penegakan peraturan gratifikasi tidaklah mudah. Kendala yang dihadapi yaitu adanya anggapan bahwa pemberian hadiah tersebut dalam rangka melekatkan tali silaturahmi. Budaya anti gratifikasi harus dimulai dari diri kita sendiri agar menjadi kebiasaan sehingga lama kelamaan akan menjadi budaya bagi instansi pemerintah, masyarakat dan negara dengan cara menolak setiap pemberian gratifikasi. Apabila tidak dapat menolak karena tidak diberikan secara langsung atau alasan lainnya, maka tindakan yang bisa dilakukan oleh ASN adalah menerima dan melaporkan gratifikasi tersebut. Alangkah baiknya apabila dalam menolak gratifikasi kita sekaligus menyampaikan himbauan kepada pemberi gratifikasi tersebut untuk tidak lagi memberikan gratifikasi kepada siapapun dalam memperoleh layanan pada instansi pemerintah. Apabila ASN merasa menerima gratifikasi maka wajib dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Narasi: Mailinda Pratiwi, Seksi Manajemen Satker dan Kepatuhan Internal

Tags : Pembelajaran